pernahkah kamu merasa bosan di
tengah jam pelajaran sekolah ? Apa yang kamu lakukan saat berada pada situasi
tersebut, tetap berusaha menyimak penjelasan guru atau justru melakukan hal-hal
lain untuk mengusir rasa bosan yang Kamu rasakan?
Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan oleh Indiana University Bloomington pada tahun 2006-2009 terhadap
275.000 siswa SMA di Amerika, diketahui sebesar 65% siswa mengaku mengalami
kebosanan di kelas paling tidak sekali dalam satu hari (Sparks, 2012).
Di Indonesia, masalah kebosanan siswa di kelas juga banyak
ditemui. Rasanya cukup mudah untuk menemukan siswa yang memainkan handphone,
berbicara dengan teman, menggambar, membaca bacaan yang tidak terkait dengan
pelajaran, atau bahkan tertidur saat guru tengah mengajar di kelas. Kondisi
tersebut tentu saja tidak ideal untuk berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar
di kelas.
Lalu bagaimana caranya agar siswa
terhindar dari rasa bosan di kelas? Cara paling baik yang dapat dilakukan guru
adalah meningkatkan keterlibatan siswa di dalam kelas. Keterlibatan siswa ini
dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan teori flow.
Konsep flow pertama kali
dikemukakan oleh Csikszentmihalyi (1990). Menurut pendapat Csikszentmihalyi
(1990, dalam Rupayana, 2002), flow adalah perasaan yang timbul pada diri
seorang manusia saat ia bertindak secara total di dalam kegiatan yang ia ikuti.
Nakamura dan Csikszentmihalyi (2002) menerangkan bahwa seseorang yang mengalami
flow akan menganggap aktivitas yang ia lakukan penting dan berharga
untuk ia lakukan, terlepas dari ada atau tidaknya gol yang dapat dicapai dalam
melakukan kegiatan tersebut. Individu yang mengalami flow biasanya terlibat
secara intens di dalam kegiatan yang ia lakukan, sehingga tak jarang mereka
cenderung untuk tidak sadar dengan waktu atau tempat (Schunk, Pintrich &
Meece , 2008).
Flow
tidak terjadi secara tiba-tiba. Menurut Csikszentmihalyi (1997, dalam Shernoff,
Csikszentmihalyi, Schneider & Shernoff, 2003).
untuk dapat mengalami flow,
(1) seseorang perlu berkonsentrasi, (2) merasa berminat, serta (3)
bersemangat pada saat saat ia melakukan suatu aktivitas. Ketiga unsur
tersebut perlu untuk terpenuhi pada saat yang bersamaan agar flow bisa
terjadi. Di dalam setting sekolah, flow diketahui dapat terjadi pada siswa
jika tugas-tugas yang diberikan oleh guru sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
siswa. Tugas-tugas sekolah yang diberikan kepada siswa sebaiknya tidak terlalu
mudah tapi juga tidak terlalu mudah.
Flow
juga terjadi saat kondisi lingkungan belajar dapat membuat siswa lebih
semangat, terstimulasi, serta mau untuk lebih terlibat di dalam proses belajar.
Selain itu, flow bisa pula terjadi jika siswa menemukan adanya relevansi
antara materi yang dipelajari dengan kehidupan mereka sehari-hari. Terakhir,
adanya keleluasaan yang cukup besar pada siswa untuk mengontrol aktivitas
belajarnya juga diketahui dapat membuat siswa mengalami flow.
Flow
diketahui memiliki dampak positif terhadap performa belajar siswa. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Shernoff, Csikszentmihalyi, Schneider dan
Shernoff (2003) menunjukkan bahwa siswa yang mengalami flow lebih mau
untuk terlibat di dalam proses belajar, mengalami peningkatan performa
akademik, lebih merasa bersemangat saat mendapat tugas yang cukup menantang,
dan cenderung lebih baik dalam hal atensi, mood serta motivasi belajar
dibandingkan siswa-siswa lain yang tidak mengalami flow.
Hasil
penelitian lainnya yang menunjukkan eratnya kaitan flow dengan
pencapaian akademik ditemukan oleh Engeser et al. (2005, dalam Schuler &
Engster, 2009). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pengukuran flow
di awal semester pada siswa yang mengambil kelas bahasa asing dapat memprediksi
pencapaian mereka di akhir semester.
Teori flow cukup mudah diaplikasikan di dalam setting belajar-mengajar di kelas. Schunk, Pintrich dan Meece (2008) memberikan lima tips untuk mengaplikasikan teori flow di dalam kelas.
Tips tersebut antara lain:
1. Sesuaikan antara tingkat
kesulitan tugas dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa:
Tugas yang diberikan kepada siswa sebaiknya bersifat menantang, namun masih
dapat dikerjakan oleh mereka. Dengan demikian, tantangan tersebut dapat membuat
siswa termotivasi untuk menyelesaikannya, bukan malah membuat mereka menjadi
demotivasi.
2. Ciptakan kesempatan bagi siswa
untuk menentukan pilihan, mengambil keputusan, dan aktif melakukan sesuatu:
Contohnya pada pelajaran komputer, siswa diminta untuk membuat sebuah program
sederhana. Namun mereka diberi kebebasan untuk membuat program apapun, asalkan
sesuai dengan apa yang telah dipelajari di kelas.
3. Ciptakan iklim emosional yang
positif dan bebas dari rasa takut, cemas, atau emosi negative lainnya
di kelas dapat memancing siswa untuk dapat mengalami flow saat sedang
belajar di kelas.
4. Berikan tugas yang memiliki
tujuan jelas: Hal ini sesuai dengan pandangan
dasar dari teori flow, yakni keterlibatan mendalam di dalam suatu
aktivitas dapat terjadi apabila individu mengetahui target atau gol secara
jelas. Target yang jelas ini akan membantu siswa agar usahannya lebih fokus.
5. Menciptakan berbagai kesempatan
untuk memberikan umpan balik: Saat siswa sedang mengerjakan
latihan di kelas, guru sebaiknya berkeliling sambil melihat progress para
siswanya. Dengan berkeliling, guru dapat memberikan kesempatan untuk bertanya
sesegera mungkin saat ia mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal latihan.
Sumber: ruang psikologi
0 komentar:
Posting Komentar